Seperti yang telah dipertanyakan di posting yang lalu, kali ini saya akan mencoba mengungkap jawabannya. Apakah yang telah berubah di Samarinda? Satu hal berupa petunjuknya adalah fakta bahwa Samarinda telah membangun peradaban baru semacam kultur panas alias hot culture. Dimana-mana panas. Tidak hanya di jalan raya namun juga berbagai sentra perbelanjaan. Mengapa demikian? Mari kita jabarkan satu-persatu:
Samarinda, sebagai kota yang gak jauh banget sama garis katulistiwa, pastilah bercuaca panas. Berada di bawah sinar matahari dalam jangka panjang pasti serasa dipanggang. Huff.. sensasi panas yang satu ini membuat kepala geleng-geleng karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa bumi memang semakin panas akibat efek global warming. Nah, cuaca panas satu ini membawa penduduk Samarinda memiliki pola pikir unik dalam hal transportasi. Faktanya, mayoritas orang lebih baik memiliki mobil dibandingkan memiliki rumah mewah. Jadi, jangan heran ketika anda memasuki sebuah kompleks perumahan sangat sederhana sekali, anda akan menemukan OPEL Blazer ataupun sekedar Honda Jazz. Hehe..
Hal seperti ini sebenarnya menambah daftar panjang kebenaran tentang kultur panas itu sendiri dimana volume kendaraan bermotor meningkat, asap dimana-mana, sehingga jalanan lebarpun mudah macet hitungan kilometer. Huff, siapa sih yang punya ide mindahin Jakarta ke sini? Hehe.. Uhm, bahkan yang menaiki kendaraan roda dua dengan pedenya mengibarkan payung di tengah jalan (Whoa!!) karena panas terlampau merajalela. Nah, menurut beberapa penelitian, konon sebuah negara atau kota dengan cuaca panas akan meningkatkan emosi masyarakatnya pula. Sebagai bukti, mungkin anda pernah lihat iklan Pertamina di televisi? Yup, anda pasti sangat senang mengisi bensin di SPBU berlabel “PASTI PAS” dimana petugasnya ramah dan memperlihatkan angka 0 ketika memulai pengisian. Well, anda tidak akan menemukannya di sini! Bukan karena di sini gak ada SPBUnya, tapi memang kultur panas membuat pelayanan di kota ini terbilang buruk. Bahkan salah satu petugasnya seneng-seneng main ponsel di area pengisian, padahal tanda ponsel coret terpampang besar tepat di sebelahnya. Ironis bukan?
Kondisi pelayanan seperti itu juga dengan gampang ditemukan di area perbelanjaan. Bukan pasar, bukan toko grosiran, tapi di sebuah Levi’s store! Anda tidak akan mendapat sambutan apa-apa ketika masuk, bahkan anda serasa tidak mengetahui dimana petugasnya di tengah crowded yang ada. Maklum, Levi’s store di salah satu mall ini laris-manis padahal dengan harga yang lebih mahal sekitar 25% dari harga Jogja! Gak heran juga sih, mengingat pendapatan kota Samarinda saja miliaran. Anything can buy deh! Hehe.. Sayangnya, bagi saya, kota ini tetap saja masih belum lengkap. Nyari majalah DAMAN? a+? M2? Huaaaah.. Nyampe kiamat juga kayanya gak bakal dapet! Pengen Activia? Setelah beberapa hari menyisir dari supermarket satu ke yang lain, baru deh nemu! Begitu susahnya.. Untungnya saja, setelah berkeliling-keliling, saya melihat dua calon mall baru yang masih dalam proses pembangunan. Diantaranya, Samarinda Global City dan Plaza Mulia. Nah, rencananya bakalan ada Carrefour dan Starbucks di pusat kota dan Waterboom di pinggir sungai! (Whatt?!). Senang juga sih ngelihat Samarinda semakin berkembang dan memiliki spot-spot hiburan baru, tapi jika harus memangkas kawasan hijau? Yah, dengan bangga harus diakui pula bahwa kultur panas akan tetap eksis di tengah masyarakatnya.
Teori Teddiouzz Today
Kultur panas sendiri juga merambat pada segi individu yang panas. Jika anda menilai kesempurnaan fisik seseorang dilihat jenis warna kulit yang putih-sedikit/banyak-kuning, maka tidak ada salahnya jika anda berkunjung ke Samarinda. Ras Melayu, Dayak dan China terasimilasi menjadi sedemikian rupa sehingga bagi anda yang suka dengan orientalitas pastinya dengan gampang menemukan jodoh anda! (Promo apaan niih?!). Tapi karena kultur panas itu sendiri, jangan heran juga jika menemukan yang belang... Haha..
No comments:
Post a Comment