Saturday, February 11, 2012

Perfect Past, Another Part of Past Perfect

I do believe in “imperfection makes perfect”. I guess “perfect need a past”.

Hari ini film AADC diputar kembali di Blok M Square demi menyambut 10 tahunnya sejak dirilis pertama kali. Bahkan dulu di salah satu sudut kota Samarinda, itu film bisa hampir setahun gak lepas-lepas dari spanduk bioskop, saking fenomenalnya. Betapa Rangga dan Cinta jadi role model kisah cinta SMA. Sekarang, real ending-nya sudah tahu kan? Si Cinta menikah dengan pengusaha ternama, sedangkan si Rangga masih bahagia dengan titel jomblonya. Padahal kalau mereka berdua asli jadian, it could be perfect. Hmm, that’s bad future or just a perfect past?

Sebenarnya posting ini juga menandai 6 tahun lamanya saya menulis di sini dan selama itu pula six-pack sayapun semakin pudar *ough*. Dulu awalnya saya suka menulis apapun-pemikiran-absurd-itu di agenda (or in girly vocab: diary), hingga akhirnya blogger ini jadi alternatif yang lebih go green (padahal sering lupa taro agenda di mana). Kalau saya lihat lagi posting pertama kali pada tahun 2006 itu, rasanya pengen potong ini dua tangan. Bisa-bisanya ya saya dengan sebegitu alay-nya menuliskan huruf besar kecil dan kata-kata dengan antrian huruf di belakang seperti ‘malesssss’ atau dengan tanda seru menghujam. Tapi sudahlah, selalu ada masa-masa dimana kita bisa tertawa juga dengan hal sepele semacam itu. Bahkan, komen di posting pertama mengatakan ‘najong’. Well, it’s also a part of perfect past. How could you blame your past if you can be better now? Hehe..

Saya jadi iseng juga ngintip blog teman saya yang inspiratif itu, dan membuka halaman utama, lalu langsung shortcut ke postingan pertama pada tahun yang sama, 2006. Dan ternyata gak jauh beda! Dia bahkan berkali-kali mengatakan ‘cupu banget sih gue’. Banyak hal yang lebih membuat tertawa geli jika lebih polos bercerita. Uh, where’s the innocent era, anyway? You’re gone too fast? I guess the right answer of all the reason is about an image. Mungkin di era dimana dosis kegalauan lebih menghantui daripada dosis morphin.. atau era tebar pesona di mall mulai berpindah ke tempat-tempat yang tidak diperhitungkan sebelumnya seperti counter teller bank, kita tidak sadar bahwa membentuk imej itu jadi penting. Gerak, tawa, atau bahkan eye-contact perlahan mulai dibatasi ruangnya. Ahh.. I guess mature and matters grew up together!

Ternyata usia menghapus jejak keluguan menjadi intelijensia. Semakin pintar, terkadang membuat orang ingin dipandang lebih benar. Semakin banyak uang, membuat orang ingin dipandang lebih mewah. Semakin besar perubahan from beast-to-beauty juga terkadang membuat orang merasa punya kelas berbeda. Kalau boleh saya pilih, saya lebih jatuh cinta dengan versi ketika manusia masih sadar bahwa ia tidak sempurna. Dengan ketidaksempurnaan, terkadang orang cenderung lebih bijak, namun perasaan sempurna justru memberinya perangkap dengan congkak.

Oh, I MISS U! (in your vintage version). Do I look like vintage person too?

*This is posted from my office desk. Satnite. How wonderful!*

Friday, January 20, 2012

The 25 Something


Happy New Year 2012! Selamat memasuki tahun sibuk..

Bahkan, harian Kompas juga menyebutkan tahun ini sebagai “tahun kerja”. Entahlah apa yang membuat saya tergerak untuk menulis kembali pada halaman karatan ini. Tahun telah bertambah lagi pada sekujur raga. Pergerakan sosial, stabilisasi fisik, hingga destinasi relaksasi juga telah berubah secara signifikan. Tak terasa sudah setengah tahun saya bekerja di Fortune Star Global, sebuah anak perusahaan Jepang yang bergerak di bidang preventive health management, sebagai customer data and care atau yang biasa disingkat CDC. Tugas utama CDC yaitu memastikan semua data customer harus masuk ke sistem. Selain data-data pribadi, data transaksi juga harus direkap dengan rinci. Hmm.. sounds not my type? Yes, still feels strange with this kind of job. How come my six-enjoyable-years in advertising ends up with this position?

Mengeluh sepertinya bukan kata yang tepat juga untuk meghabiskan hari-hari di 'roadshow office' ini. Setelah training selama 1,5 bulan di Jakarta, tepatnya di daerah Bintaro, saya tiba-tiba dimutasikan ke Cirebon secara mendadak. Pagi diberitahu, maghrib sudah harus berangkat. Sistem mutasi yang benar-benar shock therapy. Reaksi saya pertama kali waktu itu.. ‘What? Cirebon? What kind of city is that?’. Cirebon yang awalnya memang underestimate karena terbias dengan gosip tentang manajer yang galak dan bla bla bla akhirnya tidak seperti yang diduga. Tim yang lebih solid (karena gak rese masalah senioritas), manajer yang lebih menyenangkan (karena sense of adult comedy yang tinggi), serta kantor yang lebih nyaman (terletak di lantai tiga pusat belanja). Hinggap empat bulan di sana, akhirnya satu tim bergerak ke Bandung. One word is.. Excited! Kembali ke ibukota propinsi kembali. Menjelajah Bandung, rasanya bisa menyelaraskan kembali dengan suasana metropolis seperti Jakarta. Sayang, baru saja dua minggu, ternyata HRD kantor pusat malah mengeluarkan rayuan maut untuk memutasikan saya kembali ke Malang karena kekurangan staff di sana. Oh, back to another Cirebonism! And here I am.. In a cold appletown now.

Some people blessed my job because of mobility. But that’s the point. Berpindah-pindah kota dalam setengah tahun ini cukup diwarnai dengan hal-hal yang menginspirasi. Menghapal jalan-jalan di setiap sudut kota juga jadi tantangan tersendiri. Saya jadi sadar, it’s not traveling anymore.. It’s about learned to living in a city. Meskipun dengan jam kerja yang di atas normal dan terkadang tidak libur di hari Minggu, toh masih ada secuil sisa-sisa waktu yang bisa dihabiskan untuk menelusuri spot-spot yang masih terselubung. Mengunjungi pembuatan batik Mega Mendung di perkampungan batik Trusmi, menapaki bukit Ciremai dan merasakan beberapa curuk, ke pemandian air panas Sangkanurip, pusat pelelangan ikan yang pelabuhannya dipenuhi ubur-ubur, mencicipi Toko Oen yang legendaris, hingga terakhir mengunjungi Jatim Park di daerah Batu. This is the positive side of this job. How every city have some hidden agenda called culture.

Anyway, it’s been a silver years! But 25 doesn’t mean mature and feels complete. Kerja. Lelah. Dibayar. Lalu habisin uang. Lalu kerja lagi. Seperti itu mayoritas rotasi di umur segini? Punya kecukupan uang tapi waktu senggang hampir tidak ada untuk liburan. Punya sahabat dekat, tapi tidak ada kesempatan bertemu tangan. Punya keluarga, tapi meja kantor justru jadi tempat berlabuh utama. Aneh, bagaimana hidup di kantor bagaikan mesin pencetak budaya materialisme. Tapi, biarpun demikian setengah tahun di kantor ini juga merupakan anugerah yang tidak disangka-sangka. Kalau saja mengingat pertama kali masuk kerja dan kata-kata resign dan sejenisnya sudah menancap di kepala, mungkin banyak pengalaman yang seharusnya ada, di-skip begitu saja. Yeah, I’m just a lucky one!