Wednesday, May 04, 2011

Thaigasmic Season


Saya bukan Thaisentris, tapi jujur mereka lebih menghibur.

Beberapa hari lalu, lagi-lagi saya nonton film Thailand. Pertama karena memang plotnya cukup menjanjikan, selanjutnya karena kali ini diajak teman. Syukurlah kali ini tidak sendirian, jadi kalau tiba-tiba sesenggukan bisa berbarengan. Judulnya ‘SuckSeed’, film remaja yang terlihat kental dengan nuansa pop. Komedi, romansa, kehidupan sekolah dilebur menjadi satu dan dibungkus tema musik yang memang dikonsep dengan matang. Hasilnya? Sebuah hiburan yang mengundang mulut tersenyum dan tertawa. Semua orang pasti suka dengan jalan ceritanya yang sederhana. Mayoritas abege yang memenuhi bioskop juga hanyut terbahak melihat aktor kesayangannya.

Setelah beberapa buah judul film Thailand lahap ditonton, saya baru berani mengambil kesimpulan. Mengapa film mereka bisa sukses menghipnotis mata penikmat film di Indonesia? Satu, mungkin mereka sukses menempatkan aktor tampan namun dengan akting yang tidak mengecewakan, setidaknya berhasil menghipnotis kekurangan-kekurangan. Yang kedua, skenario yang cukup familiar namun peduli hal-hal kecil yang sentimental. Ide-ide segar meraka justru hadir di detik-detik mungil yang mereka sisipkan, menjadikannya spesial. Sisanya, apalagi kalau bukan pemilihan score dan soundtrack yang kalau saya boleh bilang tidak meleset dengan adegan. Ya, sepertinya kesesuaian gambar dan musik merupakan faktor penting dalam suksesnya sebuah tontonan. Bayangkan, beberapa lagu Thailand sekarang jadi rajin berdendang di kamar. Awalnya sih dulu jatuh cinta dengan soundtrack ‘The Love of Siam’ yang manis dengan sentuhan saxofon dan piano oleh Chookiat Shakveerakul, August band, lalu berlanjut ke Marissa Sukosol. Nah, kali ini score Hualampong Riddim saja sudah mampu bertahan di telinga belasan kali dalam sehari. What a magic tunes!

Oke, mungkin saya kebetulan saja lihat film Thailand kelas A. Tapi biar bagaimanapun, produksi film mereka tetap lebih matang dari Indonesia. Bayangkan, mereka sudah bisa punya kalender tahunan. Itu artinya segala pra-produksi telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum akhirnya menerima jadwal rilis seperti yang direncanakan. Sama halnya seperti sistem film di Hollywood. Film masih shoot, tapi sudah ada poster teaser pengumuman rilisnya. Nah, apa kabar perfilman negara kita?

Sebenarnya tidak berbeda jauh juga, hanya saja presentasi kematangan produksi film kita masih sedikit. Yah, cukup ngerti dong rumah produksi mana saja yang serius menggarap film? Sutradaranyapun juga segelintir yang mau mendedikasikan diri. Terlepas kematangan produksi, rasanya film Indonesia itu sangat jarang memanfaatkan score dan soundtrack yang matang. Padahal masyarakat kita mayoritas ‘ear watcher’ alias banyak yang menonton setelah dengar soundtrack-nya. Lihat saja ‘Petualangan Sherina’, ‘Ada Apa Dengan Cinta?’, ‘Eiffel I’m In Love’, ‘Ayat-Ayat Cinta’, ‘Laskar Pelangi’. Cukup sukses kan? Lagu yang ‘sinkron’ dengan film pasti akan membantu dinamisnya adegan. Menurut saya, selama ini satu nama yang punya reputasi baik yaitu Achsan dan Titi Sjuman. ‘Mereka Bilang Saya Monyet’ dan ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ punya score yang nikmat dijelajahi. ‘Love’ karya Erwin Gutawa juga menjadi manis meski ringan. That’s why, sudah saatnya Indonesia lebih fokus untuk memaksimalkan karya dengan formula yang sama. Masih banyak budaya-budaya yang bisa dimasukkan ke film kita sehingga menjadi identitas nasional. Jadi, buat apa capek-cepek impor bintang panas? Lebih baik bayar saja penulis skenario sentimental, pesan soundtrack yang bagus sekalian, plus cari satu aktor bertalenta yang bisa bikin wanita jejeritan. :)