Friday, February 12, 2010

How Well We Knew About Love?

Memasuki tahun keempat, memasuki bulan yang identik juga dengan bulan cinta.

Film Valentine’s Day yang dibintangi dengan sederet bintang ternama telah edar. Beberapa pasangan yang sedang mesra-mesranya juga akan siap menontonnya. Tapi, saya (dan mungkin beberapa manusia yang berpikiran sama) masih terus mempertanyakan cinta yang hadir pada hidup sampai saat ini. Termasuk kecintaan saya dengan menulis. Tidak terasa blog ini sudah memasuki tahun yang keempat. Kecintaan yang hadir sedikit demi sedikit, yang diawali dengan pemahaman ‘dangkal’ mengenai catatan harian dan dilanjutkan dengan proses demi proses untuk menjadi penulis yang mampu memaknai tulisannya secara lebih. Apakah kecintaan saya pada tulisan memang benar-benar ada? Kok posting hanya sebulan sekali ya? Hehe..

Sebenarnya yang lebih saya bingungkan adalah cinta yang sebenarnya. How well we know about love? 23 juta pasangan telah menikah sepanjang dekade ini (1999-2009) di Amerika, namun ternyata 12 juta diantaranya berakhir dengan perceraian. Sekitar lebih dari 50% perceraian menjadi sebuah pertanyaan kembali untuk memaknai cinta. Apakah cinta itu datang hanya di saat yang berbahagia atau dengan gampangnya berakhir dengan hakim dan jaksa di kantor urusan agama. Saya juga menonton ratusan film drama untuk memaknai lebih lanjut tentang cinta. Tentu saja bukan drama yang hadir untuk komersialitas, melainkan drama yang memang membuat kita berpikir lebih lanjut tentang cinta. Up in the Air, I Love You, Beth Cooper, atau Valentine’s Day mungkin beberapa judul film yang hadir dari segmentasi yang berbeda, namun semuanya mengangkat tentang cinta. Tetapi dari semua judul itu, cinta selalu memiliki makna dan keunikan tersendiri. Yang paling saya banggakan tidak lain, Up in the Air. Drama tentang seorang staff ahli pemecatan yang menjalani kerjanya dengan sangat mobile. Berpindah dari satu pesawat ke pesawat, dari hotel ke hotel, dari kantor ke kantor, dari negara bagian ke negara bagian. Lalu ia tersadar dengan cinta yang tidak pernah menghampiri di sela kesibukannya. Kesadaran yang sangat manusiawi ketika seseorang lantas merasa kesepian dan ingin memiliki seseorang yang benar-benar diandalkan ketika dibutuhkan. What is love? Pertanyaan yang seringkali hinggap pada manusia jenis ini. Dan saya mengiyakan, “Yeah.. What really love is?”.

Saya mungkin tidak pandai dalam menjabarkan satu persatu makna cinta, tapi saya akan coba. Bagi saya cinta bukan suatu hal yang harus hadir karena dipaksakan. Cinta hadir begitu saja kok.. Jika kita melihat seseorang pertama kali, ingin terus memandanginya 5 detik kemudian, dan kita akan bergumam tentang garis senyum yang menawan atau mata yang penuh kemisteriusan. Mungkin itu dapat dikatakan cinta, meskipun hal tersebut berujung pada penekanan kata “prematur”. Jatuh cinta versi manusia post-modernisme yang dibantu iklan-iklan produk kecantikan mayoritas berujung pada penampilan fisik. That’s why, seringkali fisik menjadikan anda seseorang yang buta. Karena sebenarnya kita tidak berhubungan dengan fisik saja, melainkan sikap, perasaan, keterbukaan, komunikasi, dan segala unsur dalam hubungan. Sejak kapan kita berbahagia dengan fisik saja? Bukankah kita perlu jiwa-jiwa yang memiliki semangat hebat atau letupan kejutan dalam mendorong melewati hari-hari yang terasa berat dan melelahkan? Cinta secara dewasa adalah cinta yang dapat menerima seutuhnya, bukan pada hal-hal yang anda anggap cocok dengan anda saja. Kebiasaan kentut, koreng bekas knalpot, gejala kebotakan, hingga permasalahan virginitas. Hal-hal yang seharusnya dicintai karena mencintai kekurangan pasangan merupakan hal yang tersulit dalam hubungan. Manusia mana yang tidak hidup dan bersahabat dengan kekurangan? Tidak ada. Kalau anda menunjuk salah satu orang, berarti tandanya anda belum mengenalnya secara dalam.

Cinta hadir melalui kesederhanaan. Tidak harus melalui Gucci, Hermés, Louis Vuitton, dan sebagainya. Bisa saja hadir melalui lagu klasik yang tak sengaja diputar pada salah satu sudut kafe ketika anda duduk berdua dan dengan terpaksa merobek bungkusan memori anda. Kalau kata Mastercard, it’s priceless. Mengapa perlu memberi harga pada cinta seolah-olah cinta itu merupakan kata lain dari bisnis pelacuran yang ilegal? Yeah, why you must paid to be loved.. Mereka yang ingin dibayar adalah mereka-mereka yang miskin cinta atau miskin beneran dan harus merelakan cinta yang asli untuk hal-hal yang lebih materealistis, bukan realistis.

Tapi memang ada beberapa hal yang masih dipertanyakan tentang cinta. Bagaimana membangun masa depan hanya dengan cinta? Dengan cinta, anak gak bisa makan, gak bisa sekolah dengan layak, dan bla bla bla tentang ketakutan-ketakutan lainnya. Cinta yang asli seharusnya cinta yang mampu memotivasi, menjadikan individu bernilai ganda karena memiliki daya cadangan untuk membantu bangun dari kesenjangan. ;)

So, how well I know about love? Err.. Nothing, it’s just a theoritically!

NB: Gambar merupakan android yang berbentuk menyerupai bentuk hati (NASA)