Wednesday, April 06, 2011

Resep Galau


Resep galau terbaik = 2 Film Thailand + buku Kicau Kacau.

Postingan ini adalah postingan pembuka di tahun 2011. Ini tahun kelima! Yah, saya tau, setahun lebih saya meninggalkan jurnal pertama ini untuk beralih ke tumblr agar lebih maksimal di aspek visual. Tapi sekarang sepertinya saya akan kembali, karena banyak sekali yang ingin diungkapkan dari hati. 140 karakter twitter tidak cukup untuk menampung banjir celoteh ini.

Jakarta. Yah, saya telah menginjak ibukota. Sedikit catatan, saya tipe orang yang tidak menganggap Jakarta itu hebat. Kalau kota ini hebat, saya tidak perlu khawatir dong soal pekerjaan. Yak, status saya saat ini masih menganggur. Memantau di layar laptop berhiaskan situs jobstreet atau jobsdb. Menunggu jawaban dari para penyeleksi CV dari hari ke hari dan ditengah hari-hari itu nasib saya diperparah dengan kata ‘sendiri’. Kesimpulannya, saya merasa sendiri di Jakarta yang berpenduduk superpadat ini! Sungguh oksimoron..

Saya bukannya gak ada teman, tapi mungkin teman-teman saya juga memiliki kesibukan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bertemu dengan seorang pengangguran bukan? Ada yang sibuk bekerja, bercinta dengan pacar barunya, atau bahkan ke luar kota karena punya bisnis dimana-mana. Maka pada Rabu lalu saya memutuskan untuk menghibur diri sendiri. Mengunjungi Central Park untuk menonton dua film Thailand. Ya, saya nonton dua! (saking tidak ada kerjaannya).

Menonton sendiri ternyata tidak sesantai ketika di Jogja. Entah mengapa perspektif mereka (pegawai bioskop) seperti menghakimi. Ah, atau memang kala itu suasana hati sedang tidak menentu saja. Buktinya, saya justru memilih genre komedi romantis. Genre yang dihadirkan untuk manusia-manusia berhati sensitif yang haus akan siraman cinta dan kasih. Secara pribadi sih, ini adalah genre pelepas air mata. Kalau dipikir-pikir lebih baik menangis di bioskop dalam kondisi gelap gulita dibandingkan terlihat sembab karena realita.. Hehe

Film yang saya tonton cukuplah menghibur. ‘Crazy Little Thing Called Love’ dan ‘Best of Times’. Aneh memang menonton film cinta tanpa ada pasangan, mengingat yang lain datangnya berdua atau rombongan. Mudah-mudahan saja saya dikira pengulas artikel film di majalah atau koran. Film pertama membuat saya tertawa setengah mati di awal cerita, terdiam seksama di menit tengah, dan tak salah lagi air mulai marathon keluar dari mata. Setidaknya jarak saya menangis dengan ending cukup lama, sehingga sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa ketika lampu theater menyala. Film ini juga yang membuat saya ingin memiliki penggemar rahasia dengan beragam foto-foto yang diambil tanpa sengaja dan cerita-cerita menarik di baliknya. Atau setidaknya saya justru lebih sering merahasiakan siapa yang saya cinta. Yeah, YOU.. Don’t you know that I ever used your face as wallpaper? Do YOU?! Do YOU know that I always checked your pic on facebook, ha? *Ok, dosis galau berlebih*

Namun, film kedua membuat saya sedikit lebih berpikir. Tentang masalah lupa. Bagaimana sesuatu yang ingin diingat, tapi harus dilupakan dan sesuatu yang harusnya dilupakan, tetapi masih saja diingat. Sebuah sifat dasar manusia yang menggelitik. Apa saya harus melupakan orang-orang yang saya cinta, namun pada kenyataan hanya membuat luka? Atau saya yang justru pernah melupakan orang-orang yang cinta saya sehingga kini menjadi karma? Atau.. Apakah teman-teman yang enggan bertemu memang ingin melupakan saya? *duar*

Tidak ada habisnya kalau menuruti pemikiran yang sering nyasar hingga Papua. Setelah sukses ‘tergalau’ lewat dua film tadi, saya memutuskan untuk ke Gramedia. Membeli buku untuk bacaan sepertinya akan menenangkan pikiran. Kali ini pilihan saya jatuh pada Kicau Kacau yang terlihat menarik retina dengan sampul kuningnya yang terang bercahaya (Sudah kuning, di pintu masuk pula!). Wah, ternyata saya sedang beruntung karena dalam rangka ulang tahun, Gramedia memberikan diskon 20%. Tapi.. setelah membaca beberapa halaman, ini buku ternyata memberi dosis lebih parah untuk semua kegalauan yang sedari tadi berceceran. Terlebih untuk bab dua, tentang kesendirian. Sepertinya kita tos dulu ya, bung Indra. Sendiri memang meresahkan.