Membaca buku Naked Traveling (Trinity), seakan melihat abstraksi surga di tengah keadaan dompet yang pas-pasan.
Mungkin agak aneh juga, kenapa saya baru melihat buku ini di barisan rak toko buku. Padahal ini sudah cetakan yang kelima!! Kemana aja saya?? Well, bukan salah saya juga kalo ternyata tidak diletakkan di tempat yang strategis untuk dilirik. Humm, tapi meskipun begitu, kisah di dalam buku ini sangat mengesankan dan dapat menginspirasi (Yah, meski saya dapat halaman yang kebolak-balik. Hiks!). Bukan sekedar inspirasi jalan-jalan, nikmatin landmark plus objek wisata, hotel to hotel, atau mungkin ngerasain pengalaman baru saja. Tapi, terkadang inspirasi ini datang dari segi kultur. Bagaimana kita dapat tertawa keras ataupun ditertawakan oleh kultur itu sendiri. Kultur juga bukan melulu bicara tentang masyarakat, tapi mungkin juga dari segi modernitas dan intelijensitas. Door flush sensor ala Jerman atau sebuah potret bandara Samarinda akan membawa anda melihat sisi lain dari perjalanan traveling. Huahaha..
Bicara tentang traveling, rasanya pengen juga sedikit menceritakan apa yang telah saya jelajahi. Meskipun belum hinggap di Andorra, Cyprus, Maldives, Carribean hingga Palau, namun kalo ditilik dari kacamata Trinity, sepertinya saya dan dia memiliki sebuah ketertarikan yang sama soal orientasi destinasi. Hehe.. Pertama, saya suka dengan laut (Meskipun ironisnya gak bisa renang!) dan satu lagi, saya suka dengan daerah-daerah yang belum pernah terjamah oleh kebanyakan wisatawan (Meski rada parno juga kalo misal ketemu dengan kanibal!). But, those islands are cool.. Huff, kapankah saya menyusul? Well, daripada masuk ke dunia khayalnya si Ruben, langsung cerita aja lah!
Perjalanan traveling saya memang sudah jauh-jauh hari dilatih dari Samarinda menuju Magelang saat saya masih dalam kandungan. Biasa, setiap lebaran atau liburan, seringkali berujung untuk menjenguk nenek. Sebenarnya destinasinya tidak sesimpel itu. Biasanya dari rumah tuh naik travel selama 2 jam menuju airport Sepinggan di Balikpapan, mengudara selama 2 jam bersama pramugari dan pilot -terkadang transit di airport Juanda Surabaya- menuju airport Adi Sutjipto di Yogyakarta -sesekali juga pernah mendarat di bandara Adi Sumarmo Solo kalo gak dapet tiket- dan melanjutkan perjalanan selama 1 jam naik taksi ke Magelang. Total waktu 5 jam belum ditambah perpanjangan waktu check in, boarding pass, delayed, ngambil bagasi, ataupun ngantri taksi. Menyenangkan juga, namun dari ukuran usia saya dulu, perjalanan seperti itu lumayan panjang dan berakhir pada sesi tidur pulas. Dari jamannya Garuda Indonesia masih pake hiburan headphone plus tv mini, Sempati Air yang dulu main course-nya bisa diitung gak pelit seperti kebanyakan maskapai sekarang, tisu Merpati yang harumnya nyengat banget, hingga pada akhirnya mendapat kesempatan langka naik Bouraq untuk bisa merasakan gempa di atas awan. Yap, bukan lagunya Katon Bagaskara yang negeri di atas awan!
Yap, gempa ini mungkin sensasinya tidak seheboh gempa yang di Jogja dulu. Tapi, tetap saja gempa di atas awan menawarkan sesuatu yang beda. Jadi, diawali dengan awan mendung yang mencekam.. (Hallah!), dan tiba-tiba ada geluduk kecil serta disambung dengan goncangan-goncangan yang lumayan keras seperti pesawat yang tekanan udaranya hampir ilang. Jadi, bahasa ilmiahnya: pesawatnya naik-turun gak stabil dan disertai dengan ekspresi-ekspresi serba panik. Waktu itu, saya hanya duduk diam dan mungkin telah berpikir sedikit aneh karena mengira sensasi seperti itu seperti petualangan di tv-tv. Pramugaripun juga sudah ada di ujung koridor untuk menenangkan dan memberi tahu agar terus menggunakan sabuk pengaman serta informasi tentang masker oksigen apabila keluar dari atap kabin. Humm, untungnya (atau sayangnya?) tidak berlangsung lama dan tidak lantas aerophobia setelahnya. Tiba-tiba cuaca kembali cerah dan penerbangan selamat hingga tujuan.
Bicara airport memang tidak lepas dengan sindrom delayed. Paling bete nih, soalnya penerbangan sekarang sudah mulai membudayakan delayed. Lebih sering sih terjadi sewaktu naik Mandala. Delayednya gak jelas sampai jam berapa. Jadwal tiket jam 1, diumumkan diundur jam 2, eh tiba-tiba didelayed lagi hingga jam 3! Untungnya maskapai Mandala memiliki penumpang dengan tingkat kesabaran tinggi seperti saya. Huehe.. Dahulu usia SMP di bandara Juanda Surabaya, bukan delayed lagi judulnya, tapi cancel. Nah, cancel satu ini bukan perihal cuaca ataupun kerusakan mesin, tapi gara-gara kesalahan administrasi. Jadi, ceritanya kapasitas penumpang pada hari tersebut berjumlah 2 kali lipat di database dari yang seharusnya sehingga menyebabkan setengah penumpangnya diterbangkan esok pagi menggunakan pesawat pertama. Huff! Dan untungnya keluarga saya disingkirkan dari daftar hari itu. Mengapa? Karena setelah kejadian itu, pihak maskapai memberikan paket hotel berbintang di dekat bandara untuk menginap! Huehehe..
(Sorry, but must to be continue next time...)
Mungkin agak aneh juga, kenapa saya baru melihat buku ini di barisan rak toko buku. Padahal ini sudah cetakan yang kelima!! Kemana aja saya?? Well, bukan salah saya juga kalo ternyata tidak diletakkan di tempat yang strategis untuk dilirik. Humm, tapi meskipun begitu, kisah di dalam buku ini sangat mengesankan dan dapat menginspirasi (Yah, meski saya dapat halaman yang kebolak-balik. Hiks!). Bukan sekedar inspirasi jalan-jalan, nikmatin landmark plus objek wisata, hotel to hotel, atau mungkin ngerasain pengalaman baru saja. Tapi, terkadang inspirasi ini datang dari segi kultur. Bagaimana kita dapat tertawa keras ataupun ditertawakan oleh kultur itu sendiri. Kultur juga bukan melulu bicara tentang masyarakat, tapi mungkin juga dari segi modernitas dan intelijensitas. Door flush sensor ala Jerman atau sebuah potret bandara Samarinda akan membawa anda melihat sisi lain dari perjalanan traveling. Huahaha..
Bicara tentang traveling, rasanya pengen juga sedikit menceritakan apa yang telah saya jelajahi. Meskipun belum hinggap di Andorra, Cyprus, Maldives, Carribean hingga Palau, namun kalo ditilik dari kacamata Trinity, sepertinya saya dan dia memiliki sebuah ketertarikan yang sama soal orientasi destinasi. Hehe.. Pertama, saya suka dengan laut (Meskipun ironisnya gak bisa renang!) dan satu lagi, saya suka dengan daerah-daerah yang belum pernah terjamah oleh kebanyakan wisatawan (Meski rada parno juga kalo misal ketemu dengan kanibal!). But, those islands are cool.. Huff, kapankah saya menyusul? Well, daripada masuk ke dunia khayalnya si Ruben, langsung cerita aja lah!
Perjalanan traveling saya memang sudah jauh-jauh hari dilatih dari Samarinda menuju Magelang saat saya masih dalam kandungan. Biasa, setiap lebaran atau liburan, seringkali berujung untuk menjenguk nenek. Sebenarnya destinasinya tidak sesimpel itu. Biasanya dari rumah tuh naik travel selama 2 jam menuju airport Sepinggan di Balikpapan, mengudara selama 2 jam bersama pramugari dan pilot -terkadang transit di airport Juanda Surabaya- menuju airport Adi Sutjipto di Yogyakarta -sesekali juga pernah mendarat di bandara Adi Sumarmo Solo kalo gak dapet tiket- dan melanjutkan perjalanan selama 1 jam naik taksi ke Magelang. Total waktu 5 jam belum ditambah perpanjangan waktu check in, boarding pass, delayed, ngambil bagasi, ataupun ngantri taksi. Menyenangkan juga, namun dari ukuran usia saya dulu, perjalanan seperti itu lumayan panjang dan berakhir pada sesi tidur pulas. Dari jamannya Garuda Indonesia masih pake hiburan headphone plus tv mini, Sempati Air yang dulu main course-nya bisa diitung gak pelit seperti kebanyakan maskapai sekarang, tisu Merpati yang harumnya nyengat banget, hingga pada akhirnya mendapat kesempatan langka naik Bouraq untuk bisa merasakan gempa di atas awan. Yap, bukan lagunya Katon Bagaskara yang negeri di atas awan!
Yap, gempa ini mungkin sensasinya tidak seheboh gempa yang di Jogja dulu. Tapi, tetap saja gempa di atas awan menawarkan sesuatu yang beda. Jadi, diawali dengan awan mendung yang mencekam.. (Hallah!), dan tiba-tiba ada geluduk kecil serta disambung dengan goncangan-goncangan yang lumayan keras seperti pesawat yang tekanan udaranya hampir ilang. Jadi, bahasa ilmiahnya: pesawatnya naik-turun gak stabil dan disertai dengan ekspresi-ekspresi serba panik. Waktu itu, saya hanya duduk diam dan mungkin telah berpikir sedikit aneh karena mengira sensasi seperti itu seperti petualangan di tv-tv. Pramugaripun juga sudah ada di ujung koridor untuk menenangkan dan memberi tahu agar terus menggunakan sabuk pengaman serta informasi tentang masker oksigen apabila keluar dari atap kabin. Humm, untungnya (atau sayangnya?) tidak berlangsung lama dan tidak lantas aerophobia setelahnya. Tiba-tiba cuaca kembali cerah dan penerbangan selamat hingga tujuan.
Bicara airport memang tidak lepas dengan sindrom delayed. Paling bete nih, soalnya penerbangan sekarang sudah mulai membudayakan delayed. Lebih sering sih terjadi sewaktu naik Mandala. Delayednya gak jelas sampai jam berapa. Jadwal tiket jam 1, diumumkan diundur jam 2, eh tiba-tiba didelayed lagi hingga jam 3! Untungnya maskapai Mandala memiliki penumpang dengan tingkat kesabaran tinggi seperti saya. Huehe.. Dahulu usia SMP di bandara Juanda Surabaya, bukan delayed lagi judulnya, tapi cancel. Nah, cancel satu ini bukan perihal cuaca ataupun kerusakan mesin, tapi gara-gara kesalahan administrasi. Jadi, ceritanya kapasitas penumpang pada hari tersebut berjumlah 2 kali lipat di database dari yang seharusnya sehingga menyebabkan setengah penumpangnya diterbangkan esok pagi menggunakan pesawat pertama. Huff! Dan untungnya keluarga saya disingkirkan dari daftar hari itu. Mengapa? Karena setelah kejadian itu, pihak maskapai memberikan paket hotel berbintang di dekat bandara untuk menginap! Huehehe..
(Sorry, but must to be continue next time...)
No comments:
Post a Comment