teddiouzz
ART IN LIVING LIFE WITH A MILLION SIGNS
Sunday, March 24, 2013
Finding New And Finding Each Other
Saturday, February 11, 2012
Perfect Past, Another Part of Past Perfect
I do believe in “imperfection makes perfect”. I guess “perfect need a past”.
Hari ini film AADC diputar kembali di Blok M Square demi menyambut 10 tahunnya sejak dirilis pertama kali. Bahkan dulu di salah satu sudut kota Samarinda, itu film bisa hampir setahun gak lepas-lepas dari spanduk bioskop, saking fenomenalnya. Betapa Rangga dan Cinta jadi role model kisah cinta SMA. Sekarang, real ending-nya sudah tahu kan? Si Cinta menikah dengan pengusaha ternama, sedangkan si Rangga masih bahagia dengan titel jomblonya. Padahal kalau mereka berdua asli jadian, it could be perfect. Hmm, that’s bad future or just a perfect past?
Sebenarnya posting ini juga menandai 6 tahun lamanya saya menulis di sini dan selama itu pula six-pack sayapun semakin pudar *ough*. Dulu awalnya saya suka menulis apapun-pemikiran-absurd-itu di agenda (or in girly vocab: diary), hingga akhirnya blogger ini jadi alternatif yang lebih go green (padahal sering lupa taro agenda di mana). Kalau saya lihat lagi posting pertama kali pada tahun 2006 itu, rasanya pengen potong ini dua tangan. Bisa-bisanya ya saya dengan sebegitu alay-nya menuliskan huruf besar kecil dan kata-kata dengan antrian huruf di belakang seperti ‘malesssss’ atau dengan tanda seru menghujam. Tapi sudahlah, selalu ada masa-masa dimana kita bisa tertawa juga dengan hal sepele semacam itu. Bahkan, komen di posting pertama mengatakan ‘najong’. Well, it’s also a part of perfect past. How could you blame your past if you can be better now? Hehe..
Saya jadi iseng juga ngintip blog teman saya yang inspiratif itu, dan membuka halaman utama, lalu langsung shortcut ke postingan pertama pada tahun yang sama, 2006. Dan ternyata gak jauh beda! Dia bahkan berkali-kali mengatakan ‘cupu banget sih gue’. Banyak hal yang lebih membuat tertawa geli jika lebih polos bercerita. Uh, where’s the innocent era, anyway? You’re gone too fast? I guess the right answer of all the reason is about an image. Mungkin di era dimana dosis kegalauan lebih menghantui daripada dosis morphin.. atau era tebar pesona di mall mulai berpindah ke tempat-tempat yang tidak diperhitungkan sebelumnya seperti counter teller bank, kita tidak sadar bahwa membentuk imej itu jadi penting. Gerak, tawa, atau bahkan eye-contact perlahan mulai dibatasi ruangnya. Ahh.. I guess mature and matters grew up together!
Ternyata usia menghapus jejak keluguan menjadi intelijensia. Semakin pintar, terkadang membuat orang ingin dipandang lebih benar. Semakin banyak uang, membuat orang ingin dipandang lebih mewah. Semakin besar perubahan from beast-to-beauty juga terkadang membuat orang merasa punya kelas berbeda. Kalau boleh saya pilih, saya lebih jatuh cinta dengan versi ketika manusia masih sadar bahwa ia tidak sempurna. Dengan ketidaksempurnaan, terkadang orang cenderung lebih bijak, namun perasaan sempurna justru memberinya perangkap dengan congkak.
Oh, I MISS U! (in your vintage version). Do I look like vintage person too?Friday, January 20, 2012
The 25 Something
Wednesday, May 04, 2011
Thaigasmic Season
Beberapa hari lalu, lagi-lagi saya nonton film Thailand. Pertama karena memang plotnya cukup menjanjikan, selanjutnya karena kali ini diajak teman. Syukurlah kali ini tidak sendirian, jadi kalau tiba-tiba sesenggukan bisa berbarengan. Judulnya ‘SuckSeed’, film remaja yang terlihat kental dengan nuansa pop. Komedi, romansa, kehidupan sekolah dilebur menjadi satu dan dibungkus tema musik yang memang dikonsep dengan matang. Hasilnya? Sebuah hiburan yang mengundang mulut tersenyum dan tertawa. Semua orang pasti suka dengan jalan ceritanya yang sederhana. Mayoritas abege yang memenuhi bioskop juga hanyut terbahak melihat aktor kesayangannya.
Setelah beberapa buah judul film Thailand lahap ditonton, saya baru berani mengambil kesimpulan. Mengapa film mereka bisa sukses menghipnotis mata penikmat film di Indonesia? Satu, mungkin mereka sukses menempatkan aktor tampan namun dengan akting yang tidak mengecewakan, setidaknya berhasil menghipnotis kekurangan-kekurangan. Yang kedua, skenario yang cukup familiar namun peduli hal-hal kecil yang sentimental. Ide-ide segar meraka justru hadir di detik-detik mungil yang mereka sisipkan, menjadikannya spesial. Sisanya, apalagi kalau bukan pemilihan score dan soundtrack yang kalau saya boleh bilang tidak meleset dengan adegan. Ya, sepertinya kesesuaian gambar dan musik merupakan faktor penting dalam suksesnya sebuah tontonan. Bayangkan, beberapa lagu Thailand sekarang jadi rajin berdendang di kamar. Awalnya sih dulu jatuh cinta dengan soundtrack ‘The Love of Siam’ yang manis dengan sentuhan saxofon dan piano oleh Chookiat Shakveerakul, August band, lalu berlanjut ke Marissa Sukosol. Nah, kali ini score Hualampong Riddim saja sudah mampu bertahan di telinga belasan kali dalam sehari. What a magic tunes!
Oke, mungkin saya kebetulan saja lihat film Thailand kelas A. Tapi biar bagaimanapun, produksi film mereka tetap lebih matang dari Indonesia. Bayangkan, mereka sudah bisa punya kalender tahunan. Itu artinya segala pra-produksi telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum akhirnya menerima jadwal rilis seperti yang direncanakan. Sama halnya seperti sistem film di Hollywood. Film masih shoot, tapi sudah ada poster teaser pengumuman rilisnya. Nah, apa kabar perfilman negara kita?
Sebenarnya tidak berbeda jauh juga, hanya saja presentasi kematangan produksi film kita masih sedikit. Yah, cukup ngerti dong rumah produksi mana saja yang serius menggarap film? Sutradaranyapun juga segelintir yang mau mendedikasikan diri. Terlepas kematangan produksi, rasanya film Indonesia itu sangat jarang memanfaatkan score dan soundtrack yang matang. Padahal masyarakat kita mayoritas ‘ear watcher’ alias banyak yang menonton setelah dengar soundtrack-nya. Lihat saja ‘Petualangan Sherina’, ‘Ada Apa Dengan Cinta?’, ‘Eiffel I’m In Love’, ‘Ayat-Ayat Cinta’, ‘Laskar Pelangi’. Cukup sukses kan? Lagu yang ‘sinkron’ dengan film pasti akan membantu dinamisnya adegan. Menurut saya, selama ini satu nama yang punya reputasi baik yaitu Achsan dan Titi Sjuman. ‘Mereka Bilang Saya Monyet’ dan ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ punya score yang nikmat dijelajahi. ‘Love’ karya Erwin Gutawa juga menjadi manis meski ringan. That’s why, sudah saatnya Indonesia lebih fokus untuk memaksimalkan karya dengan formula yang sama. Masih banyak budaya-budaya yang bisa dimasukkan ke film kita sehingga menjadi identitas nasional. Jadi, buat apa capek-cepek impor bintang panas? Lebih baik bayar saja penulis skenario sentimental, pesan soundtrack yang bagus sekalian, plus cari satu aktor bertalenta yang bisa bikin wanita jejeritan. :)
Wednesday, April 06, 2011
Resep Galau
Postingan ini adalah postingan pembuka di tahun 2011. Ini tahun kelima! Yah, saya tau, setahun lebih saya meninggalkan jurnal pertama ini untuk beralih ke tumblr agar lebih maksimal di aspek visual. Tapi sekarang sepertinya saya akan kembali, karena banyak sekali yang ingin diungkapkan dari hati. 140 karakter twitter tidak cukup untuk menampung banjir celoteh ini.
Jakarta. Yah, saya telah menginjak ibukota. Sedikit catatan, saya tipe orang yang tidak menganggap Jakarta itu hebat. Kalau kota ini hebat, saya tidak perlu khawatir dong soal pekerjaan. Yak, status saya saat ini masih menganggur. Memantau di layar laptop berhiaskan situs jobstreet atau jobsdb. Menunggu jawaban dari para penyeleksi CV dari hari ke hari dan ditengah hari-hari itu nasib saya diperparah dengan kata ‘sendiri’. Kesimpulannya, saya merasa sendiri di Jakarta yang berpenduduk superpadat ini! Sungguh oksimoron..
Saya bukannya gak ada teman, tapi mungkin teman-teman saya juga memiliki kesibukan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bertemu dengan seorang pengangguran bukan? Ada yang sibuk bekerja, bercinta dengan pacar barunya, atau bahkan ke luar kota karena punya bisnis dimana-mana. Maka pada Rabu lalu saya memutuskan untuk menghibur diri sendiri. Mengunjungi Central Park untuk menonton dua film Thailand. Ya, saya nonton dua! (saking tidak ada kerjaannya).
Menonton sendiri ternyata tidak sesantai ketika di Jogja. Entah mengapa perspektif mereka (pegawai bioskop) seperti menghakimi. Ah, atau memang kala itu suasana hati sedang tidak menentu saja. Buktinya, saya justru memilih genre komedi romantis. Genre yang dihadirkan untuk manusia-manusia berhati sensitif yang haus akan siraman cinta dan kasih. Secara pribadi sih, ini adalah genre pelepas air mata. Kalau dipikir-pikir lebih baik menangis di bioskop dalam kondisi gelap gulita dibandingkan terlihat sembab karena realita.. Hehe
Film yang saya tonton cukuplah menghibur. ‘Crazy Little Thing Called Love’ dan ‘Best of Times’. Aneh memang menonton film cinta tanpa ada pasangan, mengingat yang lain datangnya berdua atau rombongan. Mudah-mudahan saja saya dikira pengulas artikel film di majalah atau koran. Film pertama membuat saya tertawa setengah mati di awal cerita, terdiam seksama di menit tengah, dan tak salah lagi air mulai marathon keluar dari mata. Setidaknya jarak saya menangis dengan ending cukup lama, sehingga sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa ketika lampu theater menyala. Film ini juga yang membuat saya ingin memiliki penggemar rahasia dengan beragam foto-foto yang diambil tanpa sengaja dan cerita-cerita menarik di baliknya. Atau setidaknya saya justru lebih sering merahasiakan siapa yang saya cinta. Yeah, YOU.. Don’t you know that I ever used your face as wallpaper? Do YOU?! Do YOU know that I always checked your pic on facebook, ha? *Ok, dosis galau berlebih*
Namun, film kedua membuat saya sedikit lebih berpikir. Tentang masalah lupa. Bagaimana sesuatu yang ingin diingat, tapi harus dilupakan dan sesuatu yang harusnya dilupakan, tetapi masih saja diingat. Sebuah sifat dasar manusia yang menggelitik. Apa saya harus melupakan orang-orang yang saya cinta, namun pada kenyataan hanya membuat luka? Atau saya yang justru pernah melupakan orang-orang yang cinta saya sehingga kini menjadi karma? Atau.. Apakah teman-teman yang enggan bertemu memang ingin melupakan saya? *duar*
Tidak ada habisnya kalau menuruti pemikiran yang sering nyasar hingga Papua. Setelah sukses ‘tergalau’ lewat dua film tadi, saya memutuskan untuk ke Gramedia. Membeli buku untuk bacaan sepertinya akan menenangkan pikiran. Kali ini pilihan saya jatuh pada Kicau Kacau yang terlihat menarik retina dengan sampul kuningnya yang terang bercahaya (Sudah kuning, di pintu masuk pula!). Wah, ternyata saya sedang beruntung karena dalam rangka ulang tahun, Gramedia memberikan diskon 20%. Tapi.. setelah membaca beberapa halaman, ini buku ternyata memberi dosis lebih parah untuk semua kegalauan yang sedari tadi berceceran. Terlebih untuk bab dua, tentang kesendirian. Sepertinya kita tos dulu ya, bung Indra. Sendiri memang meresahkan.